Rabu, 12 Maret 2014

punk indonesia



Sejarah Komunitas Punk
Sejarah punk berawal dari merupakan sub-budaya yang lahir di LondonInggris. Pada awalnya, kelompok punk selalu dikacaukan oleh golongan skinhead. Namun, sejak tahun 1980-an, saat punk merajalela di Amerika, golongan punk dan skinhead seolah-olah menyatu, karena mempunyai semangat yang sama. Namun, Punk juga dapat berartijenis musik atau genre yang lahir di awal tahun 1970-anPunk juga bisa berarti ideologi hidup yang mencakup aspeksosial dan politik. Gerakan anak muda yang diawali oleh anak-anak kelas pekerja ini dengan segera merambah Amerika yang mengalami masalah ekonomi dan keuangan yang dipicu oleh kemerosotan moral oleh para tokoh politikyang memicu tingkat pengangguran dan kriminalitas yang tinggi. Punk berusaha menyindir para penguasa dengan caranya sendiri, melalui lagu-lagu dengan musik dan lirik yang sederhana namun kadang-kadang kasar, beat yang cepat dan menghentak
. Banyak yang menyalahartikan punk sebagai glue sniffer dan perusuh karena di Inggris pernah terjadi wabah penggunaan lem berbau tajam untuk mengganti bir yang tak terbeli oleh mereka. Banyak pula yang merusak citra punk karena banyak dari mereka yang berkeliaran di jalanan dan melakukan berbagai tindak kriminal. Punk selanjutnya berkembang sebagai buah kekecewaan musisi rock kelas bawah terhadap industri musik yang saat itu didominasi musisi rock mapan, seperti The BeatlesRolling Stone, dan Elvis Presley. Musisi punk tidak memainkan nada-nada rock teknik tinggi atau lagu cinta yang menyayat hati. Sebaliknya, lagu-lagu punk lebih mirip teriakan protes demonstran terhadap kejamnya dunia. Lirik lagu-lagu punk menceritakan rasa frustrasi, kemarahan, dan kejenuhan berkompromi dengan hukum jalanan, pendidikan rendah, kerja kasar, pengangguran serta represi aparat, pemerintah dan figur penguasa terhadap rakyat. Akibatnya punk dicap sebagai musik rock and roll aliran kiri, sehingga sering tidak mendapat kesempatan untuk tampil di acara televisi. Perusahaan-perusahaan rekaman pun enggan mengorbitkan mereka. Namun lebih tepatnya seorang punk itu mempunyai perilaku yang berbeda. Mereka hanya sebuah aliran, jadi jiwa dan kepribadiannya akan kembali pada individu masing-masing.

Menurut Dick Hebdige, memandang punk adalah sebuah subkultur yang menghadapi dua bentuk perubahan yaitu:
1.        Bentuk komoditas, dalam hal ini segala atribut maupun aksesoris yang dipakai oleh komunitas punk telah dimanfaatkan industri sebagai barang dagangan yang didistribusikan kepada konsumen untuk mendapatkan keuntungan. Dulu aksesoris dan atribut yang hanya dipakai oleh anak punk sebagai simbol identitas, namun kini sudah banyak dan mudah kita jumpai di toko yang dapat dikonsumsi oleh masyarakat umum.
2.        Bentuk ideologis, komunitas punk mempunyai ideologi yang mencakup pada aspek sosial dan politik. Dan ideologi mereka dahulu sering dikaitkan dengan perilaku menyimpang yang dilakukan oleh anak punk. Ada beberapa perilaku menyimpang itu telah didokumentasikan dalam media massa, sehingga membuat identitas punk menjadi buruk dipandang sebagai seorang yang bahaya dan berandalan. Namun walaupun begitu, nilai-nilai dan eksistensi punk masih dipertahankan sampai sekarang.
Dan dalam artikel yang pernah kami baca, dalam ”Philosophy of Punk”, Craig O’Hara (1999) menyebutkan tiga pengertian Punk. Punk sebagai trend remaja dalam fashion dan musik. Punk sebagai pemula yang punya keberanian memberontak, memperjuangkan kebebasan dan melakukan perubahan. Punk sebagai bentuk perlawanan yang “hebat”, karena menciptakan musik, gaya hidup, komunitas dan kebudayaan sendiri.
 
\

Faktor yang Mempengaruhi Seseorang Ikut dalam Komunitas Punk
            Banyak faktor mengapa seseorang ikut dalam sebuah komunitas punk. Antara lain karena mereka mempunyai sebuah tujuan dan ideologi yang sama. Sehingga mereka mudah menerima sebuah golongan yang dianggap sebagai sesuatu yang sama, yaitu tujuan yang ingin di capai. Ada juga yang tertarik dari motto komunitas punk, yaitu Equalityatau persamaan hak. “Aliran Punk lahir karena adanya persamaan terhadap jenis aliran musik Punk dan adanya gejala perasaan yang tidak puas dalam diri masing-masing. Sehingga mereka mengubah gaya hidup dengan gaya hidup Punk. Di sisi lain ada juga komunitas punk ini yang mempunyai kegiatan positif.
Semisal Fery dan Yudit adalah contoh kecil kenapa mereka harus memilih punk sebagai prinsip hidup mereka yang berlandaskan DIY (do it yourself ). Mereka besar di masyarakat yang mengkulturkan penyeragaman selera. Masyarakat yang terlalu munafik untuk hal-hal yang dianggap ” tabu “. Mereka memberontak dengan setiap kekuatan yang mereka miliki yaitu memilih etika punk sebagai jalan hidup mereka. Penampilan mereka dan cara hidup mereka sebagai counter cultur terhadap penyeragaman selera. Sebagai menusia biasa dan makhluk sosial yang punya perasaan, mereka memilih punk bukan untuk pelarian semata tapi self difennce mereka terhadap serangan-serangan pengekangan ekspresi diri ( offence of cultur mainstream ) , penyeragaman selera, dan cultur budaya ” mapan  “yang di ciptakan oleh mayoritas masyarakat.  Fery dan Yudit bukanlah pemuda-pemuda yang lari dari tanggung jawab. Pemuda yang cengeng ato masih menjadi benalu bagi orang tua mereka. Dengan etika DIY ( do it yourself / berdikari) dan prinsip yang mereka miliki memberikan sesuatu yang berarti dalam hidup mereka. Fery adalah pemuda yang menjadi tulang punggung keluarga, ia merantau ke timur indoneisa tepatnya di mataram NTB dan mencari kerja. sekarang dia bekerja di salah satu instansi pemerintah, sorenya mengambil part time di usaha temannya. Sedangkan Yudit adalah seorang mahasiswa salah satu perguruan tinggi di jogja, yang sangat sadar dan sangat mencintai keluarganya. mereka memilih punk bukan karena terpaksa atau sekedar ikut-ikutan saja, punk bagi mereka cara menyikapi hidup dengan tidak tergantung kepada orang laen dengan terjemahan yang sangat sederhana yaitu mandiri. Hari-hari mereka pun tidak selalu berpenampilan punk saja. Hari biasa mereka berpenampilan layaknya orang normal lainnya. Mereka mempunyai jadwal yang rutin seminggu sekali, untuk melepas kepenatan dan bercanda tawa di pinggiran trotoar tiap malam minggu mulai jam 10 malam. Disaat anak-anak muda yang lain lebih memilih diskotik ato tempat hiburan lainnya. Mereka  memilih jalanan sebagai tempat mereka berbaur bersama dengan kawan-kawan street punk mataram yang juga masing-masing dari anak-anak punk ini mempunyai profesi yang berbeda di keseharian mereka. Ada yang bekerja sebagai karyawan swasta, mahasiswa, tukang sablon, tukang parkir, pelajar dll. Berdasarkan pengalaman penulis (penulis artikel) ke lokasi dimana mereka sering nongkrong, ternyata mereka adalah sosok-sosok yang sangat humoris bersahabat dan cerdas, sangat beda dengan kesan dari luar yang terlihat sangar dan menyeramkan, perasaan mereka lebih lembut dari salju sekalipun.
Namun ketika hantaman labelisasi dan pencitraan tak berimbang oleh media juga golongan masyarakat yang mempunyai ideologi ” mapan ” . Mereka di jadikan tumbal dari “kegagalan” sistem penerapan budaya normal yang di dengungkan masyarakat umum dan pemerintah. Sehingga membuat golongan ini ( punk ) sebagai budaya yang tidak di inginkan karena merupakan budaya impor dari luar. Hal ini menjadikan mereka menjadi pribadi-pribadi yang terkekang kebebasan ekspresinya dalam berpenampilan. oleh masyrakat yang menjunjung norma dan adat istiadat ketimuran. Padahal menjadi punk bukan bagaimana kamu harus mirip menjadi punk rock star, tapi bagaimana kamu menghilhami diri, menggali potensi yang ada pede dengan do it yourself yang di pegang. Dan jika di ambil benang merah dari ” kegagalan ” budaya normal tadi, indikatornya bukan terletak pada bagiamana cara berpakian anak-anak ini. Tapi kemampuan generasi muda itu memahami dan menyerap setiap budaya dari luar, dan di terjemahkan ke dalam ruang berpikir yang luas. Tapi akhirnya kemunafikan masyarakatlah yang tidak memberikan ruang untuk memberi kebebasan berekspresi. Berpenampilan aneh, seronok = sesuatu yang tidak baik dan akan di cap sebagai minor personal. Jika kita berpikir legowo dan mau terbuka dengan lapang dada. Bukankah ” kemandirian ” generasi muda yang menjadi modal awal suatu bangsa, selain faktor yang lain.
 
Potret Kehidupan Anak Punk
            Sangat beraneka ragam kehidupan komunitas punk. Misal seperti yang kami contohkan pada tulisan diatas. Ada juga komunitas punk ini yang benar-benar hidup dijalanan, mereka melakukan segala aktifitasnya di jalan. Seperti yang sering kita jumpai saat ini, hampir tiap kota di perempatan atau pertigaan jalan dan keraimaian pusat kota kita dapat menjumpai komunitas ini. Mereka tidur dipinggir jalan atau depan pusat perbelanjaan, mengamen di lampu merah, ada juga yang menjadi polisi cepek (mengatur jalan). Komunitas anak “Punk” mempunyai aturan sendiri yang menegaskan untuk tidak terlibat tawuran, tidak saja dalam segi musikalitas saja, tetapi juga pada aspek kehidupan lainnya. Dan juga komunitas anak “Punk” mempunyai landasan etika ”kita dapat melakukan sendiri”. Beberapa komunitas “Punk” di kota-kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Malang. Mereka juga merintis usaha rekaman dan distribusi terbatas. Komunitas tersebut membuat label rekaman sendiri, untuk menaungi band-band sealiran sekaligus mendistribusikannya ke pasaran. Kemudian berkembang menjadi semacam toko kecil yang disebut distro. Tak hanya CD dan kaset, mereka juga memproduksi dan mendistribusikan t-shirt, aksesori, buku dan majalah, poster, serta jasa tindik dan tatoo. Produk yang dijual seluruhnya terbatas dan dengan harga yang amat terjangkau. Kemudian hasil yang didapatkan dari penjualan tersebut, sebagian dipergunakan untuk membantu dalam bidang sosial, seperti membantu anak-anak panti asuhan, meskipun mereka tidak mempunyai struktur organisasi yang jelas. Komunitas “Punk” yang lain, yaitu distro merupakan implementasi perlawanan terhadap perilaku konsumtif anak muda pemuja barang bermerk luar negeri.
Namun ada fenomena baru yang dapat kita jumpai pada komunitas punk saat ini. Yaitu komunitas punk muslim, mereka melakukan kegiatan mengaji seperti membaca Al-Qur`an dan pengajian yang dilakukan tiap minggu 1 kali pada hari jum`at. Komunitas ini berawal dari sebuah pertunjukan group band punk. Ada sebuah EO (event organizer) yang melakukan konser atau pertunjukan band di kampus, mall, dan sekolah-sekolah. Mereka sering di ajak untuk manggung di sebuah konser tersebut. Sehingga ada salah satu seseorang EO yang dekat dengan mereka, sebut saja dia Zaki.
Zaki salah satu orang yang sering bersama anak punk dan dia telah mengamati perkembangan anak-anak punk yang sering nongkrong di jalan-jalan ini. Meski Zaki bukan anak jalanan, ia merasa terpanggil untuk berdakwah di komunitas anak-anak punk."Dulu, saya pernah pernah bandel. Setidak-tidaknya, saya tahu kehidupan mereka," kilahnya. Di komunitas band underground itulah, Zaki bertemu dengan (alm) Budi Khaironi, orang yang paling disegani di komunitas punk tersebut. Sebelum meninggal akibat kecelakan motor (Maret 2007), Zaki teringat kata-kata yang pernah diucapkan pimpinan komunitas punk itu: "Bang Zaki, tolong bimbing teman-teman kami (secara spiritual)." Lalu siapa sesungguhnya Budi Khaeroni (32)? Dia adalah anak jalanan jebolan pesantren yang terjun ke jalan. Selain ngeband dan mengamen, Budi pernah menjadi Ketua Panji (Persaudaaran Anak Jalanan Indonesia). Perlu diketahui, setiap wilayah di Indonesia, mereka punya persaudaraan, komunitasnya sekitar 5000-an, rata-rata muslim. Jika ada teman-teman yang terjaring trantib, Budi-lah yang mengurus untuk membebaskan rekannya itu.
 "Kalau ikut komunitas mereka di Tangerang, shalat Jumat, misalnya, khotibnya pun dari kemunitas mereka sendiri, gayanya metal abis. Termasuk jamaahnya. Memang, nggak semuanya punk, alirannya beragam, ada yang beraliran regge, alternatif, rap, dan aliran musik lainnya," kata Zaki. Ternyata Budi tidak sendiri. Ada seorang rekan yang memiliki misi sama untuk mengisi ladang dakwah ini di tengah komunitas anak punk. Ia adalah Bowo, anak kiai jebolan pesantren yang juga habis waktunya di jalan. Sejak itulah, Zaki merasa mendapat dukungan penuh. "Kalau bukan kita siapa lagi yang akan berdakwah di kalangan anak jalanan. Kalau mau dakwah di komunitas anak jalanan, elu harus main di jalanan. Jika berdakwah di komunitas punk, elu tidak bisa pake baju koko, yang menunjukan kesalehan," begitu Bowo pernah berujar. Sebagai generasi punk yang tobat, Budi dan Bowo merasa prihatin dan gerah melihat teman-teman yang mengalami disorientasi dalam hidupnya. "Kini banyak bermunculan generasi punk yang tidak jelas, apakah punk ideologis atau punk modis. Kalau tahun 1994, banyak punk ideologis. Mereka benar-benar punk. Sekarang sekadar punk mode," kata Zaki. Keprihatinan itulah yang mendorong Zaki, Budi dan Bowo menarik anak-anak punk yang sudah bosan dengan jalan hidupnya. Ngeband dan mengaji adalah kultur baru yang hendak ditularkan ke generasi punk. Mereka menyebut identitas kelompoknya dengan sebutan punk Moeslem. Saat ngeband, syairnya pun bernuansakan Islami. Ketika Islam menjadi basic, mereka mulai malu saat berbuat maksiat. 
Komunitas Punk Moslem lahir karena keprihatinan seorang Budi (alm), akan kondisi pemuda yang berada dikomunitas Punk, hidup tanpa orientasi (anti kemapanan) dan meninggalkan agamanya. Punk Moslem itu didirikan sejak Ramadhan 1427 H (2007). Sebelum berdiri Punk Moslem, Budi sempat mendirikan Warung Udix Band yang berdiri 7 tahun yang lalu dan sempat mengeluarkan album indielabel "Anak Bayangan". Di Warung Udix, ia merekrut anak-anak punk dan mengajarkan pendidikan Islam. "Kalau orang bangga dengan kemusrikan dan dosa-dosa yang mereka lakukan, tapi punk moeslem bangga dengan agama mereka (Islam). Biar mereka anak jalanan, brutal, tapi anak-anak punk moeslem tetap punya Tuhan. Ketika teman-teman menamakan dirinya punk muslim, ada sebagian komunitas yang menolak punk muslim secara tegas. Mereka berkilah, tidak ada tuh anak punk yang punya tuhan atau ideologis. Setelah ngeband, anak-anak punk merasa ada sesuatu yang kosong. Sehingga tiap malam Jumat, diadakan pengajian yang bentuknya seperti mentoring dan beberapa kegiatan lainnya. Mulanya hanya lima anak yang ngaji, kemudian berkembang menjadi 20 orang, laki-laki dan perempuan. Kini, ngaji bagi mereka adalah sebuah kebutuhan. Awalnya mereka ada yang atheis. Sampai-sampai ada yang guyon, ah..gue mau masuk Islam atau Kristen dulu. Karena bagi mereka, agama bukanlah sesuatu yang sakral. Kalau pas ngamen, cuma dapat Rp. 300, diantara mereka ada yang teriak: "Allah Maha Pelit". Setelah dibina, anak itu meyakini Allah itu tidak pelit. Tak ada jalan lain, cara membina mereka adalah dengan cara mendoktrin. "Ketika anak-anak punk sudah menganggap ngaji sebagai kebutuhan, mereka mengirim pesan singkat (sms), malam ini ngaji nggak? Yang jelas, saya tidak ingin mereka merasa sedang diarahkan untuk masuk sebuah pergerakan atau kelompok harakah tertentu. Saat ini, pengajian kami memang belum ada namanya. Paling-paling, teman-teman menyebut pengajian ini pengajiannya punk moeslem." Meski Zaki bekerja di sebuah lembaga sosial, ia tak diminta untuk berdakwah atas nama institusinya. Secara pribadi, Zaki merasa terpanggil. Tak sia-siaa, hasil dari dakwah itu, tak sedikit anak-anak punk yang hijrah dan mulai pandai mengaji. Sebut saja, Lutfie yang meninggalkan dunia obat dan minuman keras. "Harapan saya ke depan, mereka dapat menjadi agen perubahan bagi teman-teman yang lain," jelas Zaki. Bukan rahasia umum, anak jalanan kerap dianggap tidak produktif, bahkan dicap sampah masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

trimakasih