Sejarah
Komunitas Punk
Sejarah punk berawal dari merupakan sub-budaya yang
lahir di London, Inggris. Pada awalnya,
kelompok punk selalu dikacaukan oleh golongan skinhead. Namun, sejak
tahun 1980-an,
saat punk merajalela di Amerika,
golongan punk dan skinhead seolah-olah menyatu, karena mempunyai semangat yang
sama. Namun, Punk juga dapat berartijenis musik atau genre yang lahir di awal tahun 1970-an. Punk juga bisa berarti ideologi hidup yang mencakup
aspeksosial dan politik. Gerakan anak muda
yang diawali oleh anak-anak kelas pekerja ini dengan segera merambah Amerika
yang mengalami masalah ekonomi dan keuangan yang dipicu oleh kemerosotan moral
oleh para tokoh politikyang
memicu tingkat pengangguran dan kriminalitas yang tinggi. Punk berusaha
menyindir para penguasa dengan caranya sendiri, melalui lagu-lagu dengan musik
dan lirik yang sederhana namun kadang-kadang kasar, beat yang cepat dan
menghentak
. Banyak yang menyalahartikan punk sebagai glue sniffer dan perusuh karena di Inggris pernah terjadi wabah penggunaan lem berbau tajam untuk mengganti bir yang tak terbeli oleh mereka. Banyak pula yang merusak citra punk karena banyak dari mereka yang berkeliaran di jalanan dan melakukan berbagai tindak kriminal. Punk selanjutnya berkembang sebagai buah kekecewaan musisi rock kelas bawah terhadap industri musik yang saat itu didominasi musisi rock mapan, seperti The Beatles, Rolling Stone, dan Elvis Presley. Musisi punk tidak memainkan nada-nada rock teknik tinggi atau lagu cinta yang menyayat hati. Sebaliknya, lagu-lagu punk lebih mirip teriakan protes demonstran terhadap kejamnya dunia. Lirik lagu-lagu punk menceritakan rasa frustrasi, kemarahan, dan kejenuhan berkompromi dengan hukum jalanan, pendidikan rendah, kerja kasar, pengangguran serta represi aparat, pemerintah dan figur penguasa terhadap rakyat. Akibatnya punk dicap sebagai musik rock and roll aliran kiri, sehingga sering tidak mendapat kesempatan untuk tampil di acara televisi. Perusahaan-perusahaan rekaman pun enggan mengorbitkan mereka. Namun lebih tepatnya seorang punk itu mempunyai perilaku yang berbeda. Mereka hanya sebuah aliran, jadi jiwa dan kepribadiannya akan kembali pada individu masing-masing.
. Banyak yang menyalahartikan punk sebagai glue sniffer dan perusuh karena di Inggris pernah terjadi wabah penggunaan lem berbau tajam untuk mengganti bir yang tak terbeli oleh mereka. Banyak pula yang merusak citra punk karena banyak dari mereka yang berkeliaran di jalanan dan melakukan berbagai tindak kriminal. Punk selanjutnya berkembang sebagai buah kekecewaan musisi rock kelas bawah terhadap industri musik yang saat itu didominasi musisi rock mapan, seperti The Beatles, Rolling Stone, dan Elvis Presley. Musisi punk tidak memainkan nada-nada rock teknik tinggi atau lagu cinta yang menyayat hati. Sebaliknya, lagu-lagu punk lebih mirip teriakan protes demonstran terhadap kejamnya dunia. Lirik lagu-lagu punk menceritakan rasa frustrasi, kemarahan, dan kejenuhan berkompromi dengan hukum jalanan, pendidikan rendah, kerja kasar, pengangguran serta represi aparat, pemerintah dan figur penguasa terhadap rakyat. Akibatnya punk dicap sebagai musik rock and roll aliran kiri, sehingga sering tidak mendapat kesempatan untuk tampil di acara televisi. Perusahaan-perusahaan rekaman pun enggan mengorbitkan mereka. Namun lebih tepatnya seorang punk itu mempunyai perilaku yang berbeda. Mereka hanya sebuah aliran, jadi jiwa dan kepribadiannya akan kembali pada individu masing-masing.
”Menurut
Dick Hebdige, memandang punk adalah sebuah subkultur yang menghadapi dua bentuk
perubahan yaitu:
1.
Bentuk komoditas,
dalam hal ini segala atribut maupun aksesoris yang dipakai oleh komunitas punk
telah dimanfaatkan industri sebagai barang dagangan yang didistribusikan kepada
konsumen untuk mendapatkan keuntungan. Dulu aksesoris dan atribut yang hanya
dipakai oleh anak punk sebagai simbol identitas, namun kini sudah banyak dan
mudah kita jumpai di toko yang dapat dikonsumsi oleh masyarakat umum.
2.
Bentuk ideologis,
komunitas punk mempunyai ideologi yang mencakup pada aspek sosial dan politik.
Dan ideologi mereka dahulu sering dikaitkan dengan perilaku menyimpang yang
dilakukan oleh anak punk. Ada beberapa perilaku menyimpang itu telah
didokumentasikan dalam media massa, sehingga membuat identitas punk menjadi
buruk dipandang sebagai seorang yang bahaya dan berandalan. Namun walaupun begitu, nilai-nilai dan eksistensi punk
masih dipertahankan sampai sekarang.
Dan dalam artikel yang pernah kami baca, dalam ”Philosophy of Punk”, Craig O’Hara (1999) menyebutkan
tiga pengertian Punk. Punk sebagai trend remaja dalam fashion dan musik. Punk
sebagai pemula yang punya keberanian memberontak, memperjuangkan kebebasan dan
melakukan perubahan. Punk sebagai bentuk perlawanan yang “hebat”, karena
menciptakan musik, gaya hidup, komunitas dan kebudayaan sendiri.
Faktor
yang Mempengaruhi Seseorang Ikut dalam Komunitas Punk
Banyak
faktor mengapa seseorang ikut dalam sebuah komunitas punk. Antara lain karena
mereka mempunyai sebuah tujuan dan ideologi yang sama. Sehingga mereka mudah
menerima sebuah golongan yang dianggap sebagai sesuatu yang sama, yaitu tujuan
yang ingin di capai. Ada juga yang
tertarik dari motto komunitas punk, yaitu Equalityatau persamaan
hak. “Aliran Punk lahir karena adanya persamaan terhadap
jenis aliran musik Punk dan adanya gejala perasaan yang tidak puas dalam diri
masing-masing. Sehingga mereka mengubah gaya hidup dengan gaya hidup Punk. Di sisi lain ada
juga komunitas punk ini yang mempunyai kegiatan positif.
Semisal Fery
dan Yudit adalah contoh kecil kenapa mereka harus memilih punk sebagai prinsip
hidup mereka yang berlandaskan DIY (do it yourself ). Mereka
besar di masyarakat yang mengkulturkan penyeragaman selera. Masyarakat yang
terlalu munafik untuk hal-hal yang dianggap ” tabu “. Mereka memberontak dengan
setiap kekuatan yang mereka miliki yaitu memilih etika punk sebagai jalan hidup
mereka. Penampilan mereka dan cara hidup mereka sebagai counter cultur terhadap
penyeragaman selera. Sebagai menusia biasa dan makhluk sosial yang punya
perasaan, mereka memilih punk bukan untuk pelarian semata tapi self difennce
mereka terhadap serangan-serangan pengekangan ekspresi diri ( offence
of cultur mainstream ) , penyeragaman selera, dan cultur budaya ”
mapan “yang di ciptakan oleh mayoritas masyarakat. Fery dan
Yudit bukanlah pemuda-pemuda yang lari dari tanggung jawab. Pemuda yang cengeng
ato masih menjadi benalu bagi orang tua mereka. Dengan etika DIY ( do
it yourself / berdikari) dan prinsip yang mereka miliki memberikan
sesuatu yang berarti dalam hidup mereka. Fery adalah pemuda yang menjadi tulang
punggung keluarga, ia merantau ke timur indoneisa tepatnya di mataram NTB dan
mencari kerja. sekarang dia bekerja di salah satu instansi pemerintah, sorenya
mengambil part time di usaha temannya. Sedangkan Yudit adalah seorang mahasiswa
salah satu perguruan tinggi di jogja, yang sangat sadar dan sangat mencintai
keluarganya. mereka memilih punk bukan karena terpaksa atau sekedar ikut-ikutan
saja, punk bagi mereka cara menyikapi hidup dengan tidak tergantung kepada
orang laen dengan terjemahan yang sangat sederhana yaitu mandiri. Hari-hari mereka pun tidak selalu berpenampilan
punk saja. Hari biasa mereka berpenampilan layaknya orang normal lainnya.
Mereka mempunyai jadwal yang rutin seminggu sekali, untuk melepas kepenatan dan
bercanda tawa di pinggiran trotoar tiap malam minggu mulai jam 10 malam. Disaat
anak-anak muda yang lain lebih memilih diskotik ato tempat hiburan lainnya.
Mereka memilih jalanan sebagai tempat mereka berbaur bersama dengan
kawan-kawan street punk mataram yang juga masing-masing dari anak-anak punk ini
mempunyai profesi yang berbeda di keseharian mereka. Ada yang bekerja sebagai
karyawan swasta, mahasiswa, tukang sablon, tukang parkir, pelajar dll.
Berdasarkan pengalaman penulis (penulis artikel) ke lokasi dimana mereka sering
nongkrong, ternyata mereka adalah sosok-sosok yang sangat humoris bersahabat
dan cerdas, sangat beda dengan kesan dari luar yang terlihat sangar dan
menyeramkan, perasaan mereka lebih lembut dari salju sekalipun.
Namun ketika hantaman
labelisasi dan pencitraan tak berimbang oleh media juga golongan masyarakat yang mempunyai ideologi ”
mapan ” . Mereka di jadikan tumbal dari “kegagalan” sistem penerapan budaya
normal yang di dengungkan masyarakat umum dan pemerintah. Sehingga membuat golongan ini ( punk ) sebagai budaya yang tidak
di inginkan karena merupakan budaya impor dari luar. Hal ini menjadikan mereka
menjadi pribadi-pribadi yang terkekang kebebasan ekspresinya dalam
berpenampilan. oleh masyrakat yang menjunjung norma dan adat istiadat
ketimuran. Padahal menjadi punk bukan bagaimana kamu harus mirip menjadi punk
rock star, tapi bagaimana kamu menghilhami diri, menggali potensi yang ada pede
dengan do it yourself yang di pegang. Dan jika di ambil benang
merah dari ” kegagalan ” budaya normal tadi, indikatornya bukan terletak pada
bagiamana cara berpakian anak-anak ini. Tapi kemampuan generasi muda itu
memahami dan menyerap setiap budaya dari luar, dan di terjemahkan ke dalam
ruang berpikir yang luas. Tapi akhirnya kemunafikan masyarakatlah yang tidak
memberikan ruang untuk memberi kebebasan berekspresi. Berpenampilan aneh,
seronok = sesuatu yang tidak baik dan akan di cap sebagai minor personal. Jika
kita berpikir legowo dan mau terbuka dengan lapang dada. Bukankah ” kemandirian
” generasi muda yang menjadi modal awal suatu bangsa, selain faktor yang lain.
Potret
Kehidupan Anak Punk
Sangat
beraneka ragam kehidupan komunitas punk. Misal seperti yang kami contohkan pada
tulisan diatas. Ada juga komunitas punk ini yang benar-benar hidup dijalanan,
mereka melakukan segala aktifitasnya di jalan. Seperti yang sering kita jumpai
saat ini, hampir tiap kota di perempatan atau pertigaan jalan dan keraimaian
pusat kota kita dapat menjumpai komunitas ini. Mereka tidur dipinggir jalan
atau depan pusat perbelanjaan, mengamen di lampu merah, ada juga yang menjadi
polisi cepek (mengatur jalan). Komunitas anak “Punk” mempunyai aturan sendiri
yang menegaskan untuk tidak terlibat tawuran, tidak saja dalam segi musikalitas
saja, tetapi juga pada aspek kehidupan lainnya. Dan juga komunitas anak “Punk”
mempunyai landasan etika ”kita dapat melakukan sendiri”. Beberapa komunitas
“Punk” di kota-kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta,
dan Malang. Mereka juga merintis usaha rekaman dan distribusi terbatas.
Komunitas tersebut membuat label rekaman sendiri, untuk menaungi band-band
sealiran sekaligus mendistribusikannya ke pasaran. Kemudian berkembang menjadi
semacam toko kecil yang disebut distro. Tak hanya CD dan kaset, mereka juga
memproduksi dan mendistribusikan t-shirt, aksesori, buku dan majalah, poster,
serta jasa tindik dan tatoo. Produk yang dijual
seluruhnya terbatas dan dengan harga yang amat terjangkau. Kemudian hasil yang
didapatkan dari penjualan tersebut, sebagian dipergunakan untuk membantu dalam
bidang sosial, seperti membantu anak-anak panti asuhan, meskipun mereka tidak
mempunyai struktur organisasi yang jelas. Komunitas “Punk” yang lain, yaitu
distro merupakan implementasi perlawanan terhadap perilaku konsumtif anak muda
pemuja barang bermerk luar negeri.
Namun
ada fenomena baru yang dapat kita jumpai pada komunitas punk saat ini. Yaitu
komunitas punk muslim, mereka melakukan kegiatan mengaji seperti membaca
Al-Qur`an dan pengajian yang dilakukan tiap minggu 1 kali pada hari jum`at.
Komunitas ini berawal dari sebuah pertunjukan group band punk. Ada sebuah EO (event organizer) yang melakukan
konser atau pertunjukan band di kampus, mall, dan sekolah-sekolah. Mereka
sering di ajak untuk manggung di sebuah konser tersebut. Sehingga ada salah
satu seseorang EO yang dekat dengan mereka, sebut saja dia Zaki.
Zaki
salah satu orang yang sering bersama anak punk dan dia telah mengamati
perkembangan anak-anak punk yang sering nongkrong di jalan-jalan ini. Meski
Zaki bukan anak jalanan, ia merasa terpanggil untuk berdakwah di komunitas
anak-anak punk."Dulu, saya pernah pernah bandel. Setidak-tidaknya, saya
tahu kehidupan mereka," kilahnya. Di komunitas band underground itulah,
Zaki bertemu dengan (alm) Budi Khaironi, orang yang paling disegani di
komunitas punk tersebut. Sebelum meninggal akibat kecelakan motor (Maret 2007),
Zaki teringat kata-kata yang pernah diucapkan pimpinan komunitas punk itu:
"Bang Zaki, tolong bimbing teman-teman kami (secara spiritual)." Lalu
siapa sesungguhnya Budi Khaeroni (32)? Dia adalah anak jalanan jebolan
pesantren yang terjun ke jalan. Selain ngeband dan mengamen, Budi pernah
menjadi Ketua Panji (Persaudaaran Anak Jalanan Indonesia). Perlu diketahui,
setiap wilayah di Indonesia, mereka punya persaudaraan, komunitasnya sekitar
5000-an, rata-rata muslim. Jika ada teman-teman yang terjaring trantib,
Budi-lah yang mengurus untuk membebaskan rekannya itu.
"Kalau
ikut komunitas mereka di Tangerang, shalat Jumat, misalnya, khotibnya pun dari
kemunitas mereka sendiri, gayanya metal abis. Termasuk jamaahnya. Memang, nggak
semuanya punk, alirannya beragam, ada yang beraliran regge, alternatif, rap,
dan aliran musik lainnya," kata Zaki. Ternyata Budi tidak sendiri.
Ada seorang rekan yang memiliki misi sama untuk mengisi ladang dakwah ini di
tengah komunitas anak punk. Ia adalah Bowo, anak kiai jebolan pesantren yang
juga habis waktunya di jalan. Sejak itulah, Zaki merasa mendapat dukungan
penuh. "Kalau bukan kita siapa lagi yang akan berdakwah di kalangan anak
jalanan. Kalau mau dakwah di komunitas anak jalanan, elu harus
main di jalanan. Jika berdakwah di komunitas punk, elu tidak bisa pake baju
koko, yang menunjukan kesalehan," begitu Bowo pernah berujar. Sebagai
generasi punk yang tobat, Budi dan Bowo merasa prihatin dan gerah melihat
teman-teman yang mengalami disorientasi dalam hidupnya. "Kini banyak bermunculan generasi punk yang tidak
jelas, apakah punk ideologis atau punk modis. Kalau tahun 1994, banyak punk
ideologis. Mereka benar-benar punk. Sekarang sekadar punk mode," kata
Zaki. Keprihatinan itulah yang mendorong Zaki, Budi dan Bowo menarik anak-anak
punk yang sudah bosan dengan jalan hidupnya. Ngeband dan mengaji adalah kultur
baru yang hendak ditularkan ke generasi punk. Mereka menyebut identitas
kelompoknya dengan sebutan punk Moeslem. Saat ngeband, syairnya pun
bernuansakan Islami. Ketika Islam
menjadi basic, mereka mulai malu saat berbuat maksiat.
Komunitas Punk Moslem
lahir karena keprihatinan seorang Budi (alm), akan kondisi pemuda yang berada
dikomunitas Punk, hidup tanpa orientasi (anti kemapanan) dan meninggalkan
agamanya. Punk Moslem itu didirikan sejak Ramadhan 1427 H (2007). Sebelum
berdiri Punk Moslem, Budi sempat mendirikan Warung Udix Band yang berdiri 7
tahun yang lalu dan sempat mengeluarkan album indielabel "Anak
Bayangan". Di Warung Udix, ia merekrut anak-anak punk dan mengajarkan
pendidikan Islam. "Kalau orang bangga dengan kemusrikan dan dosa-dosa yang
mereka lakukan, tapi punk moeslem bangga dengan agama mereka (Islam). Biar
mereka anak jalanan, brutal, tapi anak-anak punk moeslem tetap punya Tuhan.
Ketika teman-teman menamakan dirinya punk muslim, ada sebagian komunitas yang
menolak punk muslim secara tegas. Mereka berkilah, tidak ada tuh anak punk yang
punya tuhan atau ideologis. Setelah ngeband, anak-anak punk merasa ada
sesuatu yang kosong. Sehingga tiap malam Jumat, diadakan pengajian yang
bentuknya seperti mentoring dan beberapa kegiatan lainnya. Mulanya hanya lima
anak yang ngaji, kemudian berkembang menjadi 20 orang, laki-laki dan perempuan.
Kini, ngaji bagi mereka adalah sebuah kebutuhan. Awalnya mereka ada yang
atheis. Sampai-sampai ada yang guyon, ah..gue mau masuk Islam atau Kristen
dulu. Karena bagi mereka, agama bukanlah sesuatu yang sakral. Kalau pas ngamen,
cuma dapat Rp. 300, diantara mereka ada yang teriak: "Allah Maha
Pelit". Setelah dibina, anak itu meyakini Allah itu tidak pelit. Tak ada
jalan lain, cara membina mereka adalah dengan cara mendoktrin. "Ketika
anak-anak punk sudah menganggap ngaji sebagai kebutuhan, mereka mengirim pesan
singkat (sms), malam ini ngaji nggak? Yang jelas, saya tidak ingin mereka
merasa sedang diarahkan untuk masuk sebuah pergerakan atau kelompok harakah
tertentu. Saat ini, pengajian kami memang belum ada namanya. Paling-paling,
teman-teman menyebut pengajian ini pengajiannya punk moeslem." Meski Zaki
bekerja di sebuah lembaga sosial, ia tak diminta untuk berdakwah atas nama
institusinya. Secara pribadi, Zaki merasa terpanggil. Tak sia-siaa, hasil dari
dakwah itu, tak sedikit anak-anak punk yang hijrah dan mulai pandai mengaji.
Sebut saja, Lutfie yang meninggalkan dunia obat dan minuman keras.
"Harapan saya ke depan, mereka dapat menjadi agen perubahan bagi
teman-teman yang lain," jelas Zaki. Bukan rahasia umum, anak jalanan kerap
dianggap tidak produktif, bahkan dicap sampah masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
trimakasih